Minggu, 19 Februari 2017

Biodata Ustadz Dr Firanda Andirja, MA


FIRANDA ANDIRJA MA.
Image result for firanda andirja
Nama : Firanda Andirja Abidin
Kunyah : Abu Abdil Muhsin
Tempat tanggal lahir : Surabaya 28 Oktober 1979
Status : Nikah
Istri : (yang tercinta) Rosmala Dewi Arifudin (Ummu Abdil Muhsin)
Ayah dari 5 orang putra dan putri, Abdul Muhsin, Aiysah, Zainab, Habibah, dan Abdurrazzaq

Pendidikan:
TK Pertiwi : Sorong Irian Jaya
SD Inpres 17 : Sorong Irian Jaya
SMP negeri 1 Sorong Irian Jaya
SMU negeri 1 Sorong Irian Jaya
S1 : Fakultas Hadits Islamic University of Madinah (Universitas Islam Madinah)
S2 : Fakultas Dakwah Jurusan Aqidah

Judul Tesis :

أَجْوِبَةُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ رحمه الله عَنِ الشُّبْهَاتِ التَّفْصِيْلِيَّةِ لِلْمُعَطِّلَةِ فِي الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ
Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-syubhat terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dzatiyah yang dilontarkan oleh para penolak sifat.

Dan sekarang mengambil program S3 di jurusan yang sama (Aqidah) di Islamic University of Madinah
continue reading Biodata Ustadz Dr Firanda Andirja, MA

Kamis, 02 Februari 2017

Adakah Bid'ah Hasanah ?

Permasalahan pokok dari tulisan ini…
Sebagian dari kaum muslimin masih bingung kalau dikatakan kepadanya bahwa "Setiap bid'ah sesat", diantara mereka ada yang mengatakan: "Imam Syafi'ie saja membaginya membagi dua", yang lain akan mengatakan: "Umar bin Khaththab saja mengatakan: "Ini adalah sebaik-baik bid'ah", ada lagi yang mengatakan: "Yang pentingkan niatnya", dan banyak lagi, dan banyak lagi.
Oleh sebab itulah di dalam tulisan ini akan disampaikan pendapat manakah yang paling benar, karena kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Dan tulisan di bawah hanya fokus terhadap permasalahan ini, yaitu bantahan terhadap yang tidak percaya bahwa setiap bid'ah sesat, tulisan ini tidak mencakup semua yang berkenaan dengan bid'ah. jadi harap dimaklumi adanya. 
Adakah Bid'ah Hasanah?
            Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Artinya: "Jauhilah perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap yang baru adalah perbuatan bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan di dalam neraka"[1].
            Jadi, tidak ada di dalam Islam bid'ah hasanah dan  bid'ah buruk, karena lafadz: كُلُّ di dalam hadits di atas menunjukkan keumuman dan keluasan, oleh karena itu setiap bid'ah di dalam agama sesat tanpa ada pengecualian dari sisi-sisinya, hadits ini senada dengan firman Allah Ta'ala:
{كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ} [آل عمران: 185]
Artinya: "Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati"[2].
            Apakah mungkin ada yang akan mengatakan: "Bahwa sebagian manusia ada yang tidak akan mati?!", lebih lagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memulai pernyataan beliau dengan peringatan: "Jauhilah perkara-perkara yang baru", apakah mungkin bersamaan dengan semua ini bahwa beliau menginginkan hanya sebagian bid'ah?
            Imam Asy Syathibi rahimahullah menjelaskan tentang dalil-dalil umum pencelaan terhadap bid'ah: "Sesungguhnya dalil-dalil buruknya keumuman bid'ah, ada yang berupa mutlak  global yang sangat banyak, tidak ada pengecualian sama sekali dan tidak ada di dalamnya yang menunjukkan bahwa sebagian darinya ada petunjuk dan terdapat pula sebuah riwayat yang menyatakan: "Setiap bid'ah itu sesat kecuali ini dan itu", dan tidak ada sesuatupun yang semakna dengan ini"[3].
            Dan kita bertanya kepada orang-orang yang berpendapat adanya bid'ah hasanah, jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menginginkan bahwa seluruh bid'ah itu sesat dengan sabda beliau:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
            Maka ungkapan apakah yang lebih mengena dari ini untuk menunjukkan akan penolakan terhadap bid'ah-bid'ah secara menyeluruh?
           Dan saya berharap dari saudara yang berbeda pendapat dalam masalah ini, agar berhenti sejenak di sebuah ungkapan syari'at yang sangat mendalam dari seorang yang tidak berbicara dengan hawa nafsu kecuali wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepadanya, beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melampauinya, maka jadilah seorang muslim yang selalu berhenti di firman Allah Ta'ala dan sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan janganlah pendapatnya membuat dirinya sombong yang pada akhirnya menyebabkannya berbuat dosa.
            Berkata Ibnu 'Utsaimin rahimahullah: "Sungguh anda akan merasa benar-benar heran kepada sebagian orang yang mengetahui sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Artinya: "Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap yang baru adalah perbuatan bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka".
            Perlu diketahui, bahwa sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam كُلُّ بِدْعَةٍ adalah sebuah keumuman dan menyeluruh yang dikuatkan dengan kata yang paling kuat untuk menunjukkan keglobalan dan keumuman, yaitu: كُلُّ , yang berbicara dengan perkataan umum ini adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang mengetahui makna dari ucapan ini, beliau adalah makhluk yang paling fasih dan orang yang sangat memperhatikan pemberian nasehat bagi umatnya, beliau tidak mengucapkan sebuah ucapan kecuali beliau menginginkan makna dari itu. Intinya, ketika Nabi bersabda: "Setiap bid'ah sesat", beliau mengetahui makna apa yang beliau katakan, ucapan ini keluar dari mulut beliau sebagai kesempurnaan untuk memberikan nasehat kepada umatnya.
          Jika telah terkumpul secara sempurna tiga perkara di dalam sebuah ucapan; kesempurnaan keinginan memberikan nasehat, kesempurnaan penjelasan dan kefasihan serta kesempurnaan pengetahuan, maka hal tersebut menunjukkan bahwa ucapan tersebut diinginkan sesuai apa yang ditunjukkan oleh makna tersebut.
          Maka apakah setelah keumuman ini, layak bagi kita untuk membagi bid'ah menjadi dua bagian atau lima bagian? pembagian ini tidak akan benar selamanya, sedangkan apa yang disebutkan dari beberapa orang ulama tentang adanya bid'ah hasanah, maka hal ini tidak terlepas dari dua kemungkinan:
Pertama: perbuatan itu bukan bid'ah akan tetapi disangka bid'ah.
Kedua: perbuatan itu bid'ah maka ia sesat, akan tetapi tidak diketahui keburukannya"[4].
            Kita juga bisa katakan kepada yang berpendapat adanya bid'ah hasanah, pembuatan hukum adalah hak Allah Rabb semesta alam dan bukan hak manusia, jika boleh ada tambahan di dalam agama Islam, maka niscaya boleh juga pengurangan, oleh sebab itu Samurah menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 إِذَا حَدَّثْتُكُمْ حَدِيثًا فَلَا تَزِيدُنَّ عَلَيْهِ
Artinya: "Jika aku berbicara kepada kalian sebuah hadits maka jangan pernah sekali-kali kamu menambahkannya"[5].
            Oleh sebab itulah, para generasi salafush shalih mewasiatkan dengan ucapan yang senada. Seperti; Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, salah seorang shahabat yang dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan sunnah dan memerangi bid'ah, beliau berkata:
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
Artinya: "Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat"[6].
Begitu juga perkataan Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau juga seorang shahabat yang sangat gigih untuk mengamalkan sunnah:
 كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.
Artinya: "Semua bid'ah adalah sesat, meskipun manusia melihatnya baik"[7].
Hasan Al-Bashry rahimahullah seorang tabi'ie terkenal (wafat: 110H) berkata:
اِعْرِفُوا الْمُهَاجِرِيْنَ بِفَضْلِهِمْ، وَاتَّبِعُوْا آثاَرَهُمْ، وَإِيَّاكُمْ وَمَا أَحْدَثَ النَّاسُ فِي دِيْنِهِمْ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُوْرِ اْلمُحْدَثَاتُ.
  Artinya: "Kenalilah keutamaan-keutamaan kaum Muhajirin dan ikutilah jejak mereka, hati-hatilah kalian dari sesuatu baru yang dibuat-buat manusia di dalam agama mereka, karena sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara baru (di dalam agama)"[8].
Berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah (wafat: 241H):
أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعِ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ.
 Artinya: "Landasan sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang ada di atasnya para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladani mereka, meninggalkan bid'ah-bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat"[9].
Alasan-alasan yang digunakan untuk menyatakan bahwa ada bid'ah hasanah di dalam agama Islam beserta bantahannya
 1.     Pemahaman yang keliru dari hadits:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Artinya: "Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik di dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dari pahala-pahala mereka dan barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunnah yang buruk tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa sedikitpun pelakunya"[10].
Bantahan akan pendalilan dari hadits ini:
  • Bahwa makna مَنْ سَنَّadalah barangsiapa yang mencontohkan sunnah sebagai pengamalan bukan sebagai pensyari'atan, jadi maksud hadits ini adalah mengamalkan apa yang shahih dari sunnah nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan yang menunjukkan akan hal ini adalah sebab yang karenanya keluar hadits ini yaitu tentang bershadaqah yang disyari'atkan[11].
  • Yang mengatakan: مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً beliau juga lah yang mengatakan: كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, dan tidak akan mungkin keluar dari mulut Ash Shadiq Al Mashduq (gelar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang artinya orang yang jujur dan perkataannya dibenarkan) sebuah sabda yang mendustakan sabda beliau yang lain, dan selamanya tidak akan mungkin pernah sabda beliau bertentangan[12].
Oleh karena inilah, maka tidak boleh bagi kita mengambil sebuah hadits dan berpaling dari hadits yang lain, sesungguhnya ini adalah sikap orang yang beriman kepada sebagian kitab dan kufur terhadap yang lain.
  •  Bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  مَنْ سَنَّ (barangsiapa yang mencontohkan sunnah) dan beliau tidak mengatakan من ابتدع  (barangsiapa yang membuat yang baru), dan beliau juga berkata: فِى الإِسْلاَمِ (di dalam agama Islam) dan hal-hal bid'ah bukan dari Islam dan beliau juga bersabda: حَسَنَةً (yang baik) dan bid'ah bukan dari kebaikan[13].
  • Tidak pernah ternukilkan dari satu orang salaf ash shalihpun, bahwa ada yang menafsirkan as Sunnah al Hasanah dengan bid'ah, yang dibuat oleh manusia.
  • Bahwa makna dari مَنْ سَنَّ adalah barangsiapa yang menghidupkan sunnah yang tadinya ada kemudian hilang, lalu ia menghidupkannya, dan yang menunjukkan ini adalah lafazh hadits ini dari riwayat Ibnu Majah:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
Artinya: "Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik lalu dikerjakan maka niscaya baginya pahalanya dan seperti pahala yang mengerjakannya tidak mengurangi dari pahala-pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang memulai memberi contoh keburukan maka niscaya baginya dosanya dan mendapatkan dosa yang mengerjakannya setelahnya tidak mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun"[14].
2. Pemahaman yang salah terhadap ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Artinya: "Inilah sebaik-baiknya bid'ah"[Hadits riwayat Bukhari (no. 2010)].
Jawabannya:
  • Tidak boleh sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanding dengan perkataan siapapun dari manusia, siapapun dia, tidak dengan perkataan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang merupakan orang yang paling utama di dalam umat ini setelah nabinya, tidak juga boleh ditanding dengan perkataan Umar radhiyallahu 'anhu, yang merupakan orang kedua paling utama di dalam umat ini, apalagi perkataan-perkataan selain mereka berdua[15].
            Berkata Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma:
 يُوشكُ أَنْ تَنزلَ عَليكُم حِجارة من السماءِ ؛ أَقولُ لَكُم : قالَ رسولُ الله- صلى الله عليه وعلى آله وسلمَّ- وتقُولونَ : قالَ أَبو بكر وعُمر
"Aku khawatir bebatuan dari langit jatuh menimpa kalian, ketika aku katakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, tapi kalian malah mengatakan Abu Bakar dan Umar berkata seperti ini"[16].
            Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:
 لا رأي لأحد مع سنة سنها رسول الله صلى الله عليه وسلم
"Aku tidak membandingkan (ucapan) seseorang dibanding dengan sebuah sunnah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam"[17].
            Berkata Imam Syafi'ie rahimahullah:
أجمع المسلمون على أنَّ من استبان له سنَّةٌ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ لم يحلَّ له أن يدعها لقول أحدٍ"
 "Kaum muslimin telah bersepakat bahwa bagi siapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan seorangpun"[18].
            Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
 من رد حديث رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فهو على شفا هلكة
"Barangsiapa yang menolak hadits nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam maka ia berada di tepi jurang kehancuran"[19].
  Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan ini ketika mengumpulkan seluruh manusia untuk shalat tarawih dan shalat tarawih bukanlah suatu yang bid'ah bahkan ia merupakan suatu sunnah yang sangat nyata, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummul Mu'minin Aisyah radhiyallahu 'anha: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam pernah shalat di dalam masjid, lalu orang-orang mengikuti shalatnya, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya dan manusia bertambah banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam keempat atau ketiga, akan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar menemui mereka dan ketika pagi harinya beliau bersabda:
« قَدْ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ »
"Aku telah melihat apa yang telah kalian kerjakan dan tidak ada yang menghalangiku keluar untuk menemui kalian, kecuali aku sangat takut shalat ini akan diwajibkan atas kalian" dan ini terjadi di bulan Ramadhan[20].
            Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan tentang penyebab kenapa sampai beliau meninggalkan shalat tarawih secara berjama'ah dan ketika umar radhiyallahu 'anhu melihat bahwa penyebab tersebut sudah hilang, maka beliau mengembalikan shalat tarawih dalam keadaan berjama'ah. Jadi, yang dikerjakan oleh Umar radhiyallahu 'anhu adalah asal ibadah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. 
  • Makna bid'ah di dalam perkataan umar adalah bid'ah secara bahasa yang artinya: sesuatu yang dikerjakan tidak semisal dengan sebelumnya[21].
            Berkata Asy Syathibi rahimahullah:
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ سَمَّاهَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِدْعَةً وَحَسَّنَهَا بِقَوْلِهِ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ، وَإِذَا ثَبَتَتْ بِدْعَةٌ مُسْتَحْسَنَةٌ فِي الشَّرْعِ; ثَبَتَ مُطْلَقُ الِاسْتِحْسَانِ فِي الْبِدَعِ.
فَالْجَوَابُ: إِنَّمَا سَمَّاهَا بِدْعَةً بِاعْتِبَارِ ظَاهِرِ الْحَالِ; مِنْ حَيْثُ تَرَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّفَقَ أَنْ لَمْ تَقَعْ فِي زَمَانِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لَا أَنَّهَا بِدْعَةٌ فِي الْمَعْنَى، فَمَنْ سَمَّاهَا بِدْعَةً بِهَذَا الِاعْتِبَارِ; فَلَا مُشَاحَةَ فِي الْأَسَامِي، وَعِنْدَ ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَدَلَّ بِهَا عَلَى جَوَازِ الِابْتِدَاعِ بِالْمَعْنَى الْمُتَكَلَّمِ فِيهِ; لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ تَحْرِيفِ الْكَلِمِ عَنْ مَوَاضِعِهِ:
فَقَدْ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا: «إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ; خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ» ".
“Jika ada yang berkata: “Umar radhiyallahu ‘anhu sunnguh telah menamakannya bid’ah dan menganggapnya baik, dengan perkataannya: “Sungguh ini adalah sebaik-baiknya bid’ah”, dan jika telah tetap sebuah bidah yang dihasankan di dalam syariat maka telah tetap penganggapan baik di dalam perbuatan bid’ah.”
Maka dapat dijawab: "Beliau menamaknnya bid’ah dari ukuran keadaan secara lahir yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkannya dan bertepatan tidak terjadi di dalam masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, bukan bahwa hal itu sebuah bid’ah di dalam makna (yang syar’ie). Barangsiapa yang menamainya bid'ah dengan ukuran ini, maka tidak ada penarikan di dalam penamaan, maka pada saat itu tidak boleh dijadikan sebagai sebuah dalil atas kebolehan membuat sebuah bid'ah dengan makna yang dibicarakan di dalamnya, karena hal ini termasuk dari perubahan perkataan dari makna-maknanya; sungguh Aisyah radhiyallah anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan meninggalkan amalan padahal beliau menyukai untuk mengamalkannya, akrena takut beliau orang-orang mengerjakannya akhirnya diwajibkan atas mereka"[22].
            Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 117:
قال الإمام ابن كثير- رحمه الله- في "تفسيره" عند تفسير (سورة البقرة:117):"البدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية؛ كقوله - صلى الله عليه وسلم -: { كل محدثةٍ بدعة، وكل بدعةٍ ضلالة } وتارة تكون بدعة لغوية؛ كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارِهم:"نعمت البدعة هذه" .
“Bid’ah itu dua bagian,; terkadang menjadi bid’ah yang syar’I seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Setiap yang mengada-ngada adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” dan terkadang menjadi bid’ah secara bahasa, seperti perkataan Amirul mukminin Umar bin Khaththab dalam pengumpulannya terhadap kaum muslim dalam shalat tarawih dan melanjutkannya atas mereka: “Sungguh ini adalah sebaik-baik bid’ah”.
Berkata Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah:
"وأما ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع فإنما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية…" ثم ذكر رحمه الله قول عمر - رضي الله عنه -.
“Adapun apa yang disebukan di dalam perkataan para salaf berupa penganggapan baik sebagian bid’ah, maka sesungguhnya itu hanya di dalam bid’ah bahasa bukan syar’ie...”, kemudian setelah itu beliau menyebutkan perkataan umar radhiyallahu ‘anhu di atas. Lihat kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, hal. 233.
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في "اقتضاء الصراط المستقيم" (2/592-593):
ثم نقول: أكثر ما في هذا تسمية عمر تلك بدعةً، مع حسنها، وهذه تسمية لغوية لا تسمية شرعية، وذلك أن البدعة في اللغة تعم كل ما فعل ابتداءً من غير مثالٍ سابقٍ، وأما البدعة الشرعية؛ فما لم يدل عليه دليل شرعي.
فإذا كان نص رسول الله - صلى الله عليه وسلم -قد دل على استحباب فعلٍ، أو إيجابه بعد موته، أو دل عليه مطلقاً، ولم يعمل به ألا بعد موته، ككتاب الصدقة الذي أخرجه أبوبكر - رضي الله عنه -، فإذا عمل ذلك العمل بعد موته، صح أن يسمى بدعة في اللغة؛ لأنه عمل مبتدأ، كما أن نفس الدين الذي جاء به النبي - صلى الله عليه وسلم -يسمى محدثاً في اللغة؛ كما قالت رسل قريشٍ للنجاشي عن أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم -المهاجرين إلى الحبشة:"إن هؤلاء خرجوا من دين آبائهم ولم يدخلوا في دين الملك، وجاؤوا بدينٍ محدثٍ لا يعرف".
ثم ذلك العمل الذي دل عليه الكتاب والسنة ليس بدعةً في الشريعة، وإن سمي بدعة في اللغة.
وقد علم أن قول النبي - صلى الله عليه وسلم -: { كل بدعةٍ ضلالة } لم يرد به كل عمل مبتدأ؛ فإن دين الإسلام، بل كل دين جاءت به الرسل؛ فهو عمل مبتدأ، وإنما أراد من الأعمال التي لم يشرعها هو - صلى الله عليه وسلم -).
"Yang paling banyak (dijadikan alasan) dalam permasalahan ini adalah penamaan umar radhiyallahu 'anhu bahwa hal itu adalah bid'ah padahal itu baik, dan penamaan ini adalah secara bahasa bukan penamaan secara syar'ie, hal ini karena bid'ah secara bahasa umum mencakup seluruh perbuatan yang dilakukan secara permulaan tidak ada contoh sebelumnya sedangkan bid'ah secara syar'ie adalah seluruh perbuatan yang tidak ditunjukkan atasnya satu dalil syar'i pun"
Maka jika ada penegasan Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah menunjukkan anjuran sebuah perbuatan atau pewajibannya setelah meninggalnya atau ditunjukkan atasnya secara umum dan tidak dikerjakan kecuali setelah kematiannyaseperti penulisan sedekah yang dikeluarkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, jika dikerjakan perbuatan tersebut setelah kematiannya, maka benar dikatakan bid’ah secara bahasa karena ia adalah amalan yang dilakukan permulaan, sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merupakan sesuatu yang baru secara bahasa, sebagaimana yang dikatakan oleh para utusan kaum Quraisy kepada Najasyi tentang para shahabat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhijrah ke daerah Habasyah: “Sesungguhnya mereka leuar dari agama nenek moyang mereka dan tidak masuk ke dalam agaram sang raja dan datang dengan agama yang baru tidak dikenal.” Kemudian amalan yang telah ditunjukkan oleh syariat bukan bidah secara syar’ie tetapi bidah secara bahasa. Dan telah diketahui bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Setiap bid’ah sesat”, beliau tidak menginginkan setiap amalan yang permulaan, karena sesungguhnya agama Islam bahkan seluruh agama yang dibawa olh para Rasul adalah amalan yang permulaan, tetapi yang diinginkan adalah amalan yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”[23].
 3. Pemahaman yang keliru terhadap sebuah atsar:
ما رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
"Perkara yang dianggap oleh kaum muslimin baik maka hal itu di sisi Allah adalah baik"[24].
Jawaban terhadap pendalilan dengan atsar ini;
  • Atsar ini adalah hanya perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bukan hadits yang shahih dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata:
"(وروي) مرفوعاً عن أنس بإسنادٍ ساقطٍ، والأصح وقفه على ابن مسعودٍ".
"Atsar ini diriwayatkan secara marfu' (tersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) dengan sanad yang sangat lemah dan yang paling benar adalah diriwayatkan secara mauquf (hanya sampai kepada) Ibnu Mas'ud"[25].
Jamaluddin Az Zaila'i rahimahullah berkata:
"غريب مرفوعا، ولم أجده إلا موقوفا على ابن مسعود".
"Atsar ini gharib (asing) secara marfu' dan aku tidak mendapatkannya kecuali secara mauquf dari perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu"[26].
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
"هذا الحديث إنما يعرف من كلام ابن مسعودٍ".
“Hadits ini hanya dikenal dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu”[27].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
"ليس من كلام رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، وإنما يضيفه إلى كلامه من لا علم له بالحديث، وإنما هو ثابت عن ابن مسعودٍ"
“(Ini) bukan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan disandarkan kepada sabdanya seorang yang tidak ada pengetahuannya dengan hadits, dan ia adalah tetap dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.”[28]
Berkata Imam Al Albani rahimahullah:
لا أصل له مرفوعاً، وإنما ورد موقوفاً على ابن مسعود
"Tidak ada asal riwayatnya secara marfu' akan tetapi diriwayatkan secara mauquf atas Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu"[29].
  • Bahwa makna "kaum muslimin" yang ada di dalam atsar tersebut adalah kembali kepada para shahabat nabi radhiyallahu 'anhum, sebagaimana yang ditunjukkan dari perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
إن الله نظر في قلوب العباد، فوجد قلب محمد - صلى الله عليه وسلم -خير قلوب العباد، فاصطفاه لنفسه، فابتعثه برسالته،ثم نظر في قلوب العباد، بعد قلب محمد، فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد، فجعلهم وزراء نبيه، يقاتلون على دينه، فما رأى المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رأوا سيئاً، فهو عند الله سيئ"
"Sesungguhnya Allah melihat kepada hati-hati para hamba-Nya, maka Allah mendapati hati Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati para hamba, lalu Allah memilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya kemudian Dia melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad, maka Allah mendapati hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya, lalu Allah menjadikan mereka penolong-penolong nabi-Nya, mereka memperjuangkan agamanya, apa yang dianggap kaum muslimin baik maka hal itu di sisi Allah adalah baik dan apa yang dianggap kaum muslimin buruk maka hal itu adalah buruk di sisi Allah"[30].
Jadi ال dalam kata المسلمون bukan untuk keumuman tetapi untuk perjanjian.
  • Jikalau kalimat "kaum muslimin" di dalam atsar maknanya bukan para shahabat radhiyallahu 'anhum, maka berarti maksudnya adalah ijma',
Al 'Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata:
"إن صح الحديث عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فالمراد بالمسلمين أهل الإجماع"
"Jika hadits ini shahih maka maksud "kaum muslimin" adalah para ahli ijma'[31].
Mari perhatikan perkataan kebanyakan ulama yang menyebutkan atsar ini sebagai dalil ijma’
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
قال ابن كثير:"وهذا الأثر فيه حكايةُ إجماعٍ عن الصحابة في تقديم الصديق، والأمر كما قاله ابن مسعودٍ".
“Dan Atsar ini di dalamnya terdapat cerita tentang Ijma’nya para shahabat dalam pengedepanan Ash Shiddiq dan perkara sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.”
Ibnu Al Qayyim rahimahullah berkata setelah menyebutkannya dengan membantah orang-orang yang berdalil dengannya:
"في هذا الأثر دليل على أن ما أجمع عليه المسلمون ورأوه حسناً؛ فهو عند الله حسن، لا ما رآه بعضهم! فهو حجة عليكم".
“Di dalam atsar ini terdapat dalil bahwa apa yang di sepakati oleh kaum muslim dan apa yang mereka anggap itu baik, maka hal itu disisi Allah adalah baik, bukan yang dianggap sebagian dari mereka, maka ia adalah pemberat atas kalian.”[32]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
" الخبر دليل على أن الإجماع حجة، ولا خلف فيه".
“Riwayat ini adalah bukti bahwa ijma’ adalah hujjah pemberat dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.”[33]
Asy Syathibi rahimahullah berkata:
 "إن ظاهره يدل على أن ما رآه المسلمون بجملتهم حسناً؛ فهو حسنٌ، والأمة لا تجتمع على باطلٍ، فاجتماعهم على حسن شيءٍ يدل على حسنه شرعاً؛ لأن الإجماع يتضمن دليلاً شرعياً".
“Sesungguhnya lahirnya menunjukkan bahwa apa yang dianggap oleh kaum muslim secara menyeluruh baik, maka ia adalah baik, karena umat ini tidak berkumpul di atas kebatilan. Jadi, kesepakatan mereka atas kebaikan sesuatu menunjukkan kebaikannya secara syari’at, karena ijma’ mencakup dalil yang sayr’ie.”[34]
Ibnu Hazm berkata setelah menyebutkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
" فهذا هو الإجماع الذي لا يجوز خلافه لو تيقن، وليس ما رآه بعض المسلمين أولى بالاتباع مما رآه غيرهم من المسلمين، ولو كان ذلك لكنا مأمورين بالشيء وضده، وبفعل شيء وتركه معاً، وهذا محال لا سبيل إليه"
“Maka inilah dia ijma’ yang tidak boleh diselisihi, jika telah diyakini, dan bukan apa yang dianggap baik oleh sebagian kaum muslim lebih utama untuk diikuti dari apa yang dilihat oleh selain mereka dari kaum muslim. Kalau demikian adanya, niscaya kita akan diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu dan kebalikannya, melakukan sesuatu dan meninggalkannya secara bersamaan, dan ini mustahil, tidak ada jalan kepadanya.”[35]
Setelah disebutkan penjelasan-penjelasan para ulama di atas, maka kita tanyakan kepada mereka yang masih menyatakan adanya bid’ah hasanah dengan dalih riwayat di atas: "Apakah ada satu bid'ah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin akan kebaikannya?", maka jawabannya adalah tidak akan pernah ada.[36]
  • Bagaimana mungkin berdalil dengan perkataan seorang shahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang adanya bid’ah hasanah, padahal beliau adalah seorang yang paling gigih melarang perbuatan bid’ah, beliaulah yang berkata:
"اتبعوا ولا تبتدعوا؛ فقد كفيتم، وكل بدعةٍ ضلالة" رواه الدارمي في سننه"
“Ikutilah dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka sungguh telah cukup bagi kalian, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[37]
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Rabu, 17 Rabiuts TSani 1434H, Dammam KSA


[1] Hadits riwayat Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), Ibnu Majah (43, 42), Ahmad (4/126-127) dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Al Hakim di dalam Al Mustadrak (1/95) dan juga Al Albani di dalam Irwa Al Ghalil (no. 2455).
[2] QS. Ali Imran: 185.
[3] Lihat: Al 'Itisham (1/108).
[4] Lihat: Al Ibda' fi kamal Asy Syar' wa Khathar Al Ibtida', hal: 12-14.
[5] HR. Ahmad (no. 20126) dan Abu Daud (no. 4958), lihat: Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 346).
[6] Diriwayatkan oleh Ath Thabarani di dalam Al Mu'jam Al Kabir (no. 8770), Al Haitsami di dalam kitab Majma' Az Zawa-id menyatakan bahwa para perawinya adalah perawi kitab shahih.
[7] Diriwayatkan oleh Al-Laalaka-i di dalam Syarh Ushul Al I'tiqadi Ahlissunnah wal Jama'ah (1/134).
[8] Riwayat Ahmad di dalam kitab Az-Zuhd (4/124.)
[9] Lihat: Thabaqat Al Hanabilah, karya Abu Ya'laa (1/94).
[10] Imam Muslim telah menjelaskan sebab terjadinya hadits ini:

عَنِ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى صَدْرِ النَّهَارِ قَالَ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِى النِّمَارِ أَوِ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِى السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنَ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « (يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ (إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) وَالآيَةَ الَّتِى فِى الْحَشْرِ (اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ) تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ - حَتَّى قَالَ - وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ ». قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ - قَالَ - ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».
Artinya: "Al Mundzir bin Jarir menuturkan dari bapaknya radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada awal siang, datanglah beberapa orang dalam keadaan tidak memakai alas kaki, tanpa baju, berselimutkan kain, sambil menenteng sejata, kebanyakan mereka berasal dari Mudhar, bahkan seluruh dari mereka berasal dari Mudhar, (melihat keadaan ini) wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerah karena melihat keadaan mereka yang miskin, kemudian beliau masuk (ke dalam rumah) lalu keluar dan memerintahkan bilal mengumandangkan adzan dan iqamah kemudian beliau mendirikan shalat, setelah beliau berkhutbah membaca ayat, artinya: "Wahai manusia, bertaqwalah kalian kepada rabb kalian yang telah menciptakan dari satu jiwa" sampai kepada akhir ayat yang artinya: "Sesungguhnya Allah Maha mengawasi kalian". Dan kemudian beliau membaca ayat yang ada di dalam surat Al Hasyr, artinya: "Bertaqwalah kepada Allah dan perhatikanlah apa yang telah diperbuat oleh diri untuk hari besok( hari kiamat), dan bertaqwalah". Kemudian beliau bersabda: "Seseorang bershadaqah dari emas dan peraknya, dari pakaiannya, dari satu sha' gandumnya dan satu sha' kurmanya", sampai beliau bersabda: "Walaupun hanya dengan setengah dari satu biji kurma", lalu datanglah seorang laki-laki dari kaum Anshar membawa satu bungkusan, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu membawa bungkusan itu, bahkan memang dia tidak bisa membawanya, kemudian orang-orangpun mengikutinya (membawa bantuan) sampai aku melihat dua gundukan makanan dan pakaian, sampai aku melihat wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersinar seakan-akan lempengan perak yang bernyala-nyala, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik di dalam Islam maka untuknya pahala dan pahala orang yang mengerjakan sunnah tersebut setelahnya, tanpa mengurangi dari pahala-pahala mereka, dan barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunnah yang buruk tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa sedikitpun pelakunya". 
[11] HR. Muslim (no. 1017), Tirmidzi (no. 2675) dan An Nasa-i (no. 2554).
[12] Lihat: Al Ibda', karya Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal: 19.
[13] Lihat: Al Ibda', karya Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal: 20.
[14] Hadits riwayat Ibnu Majah (207) dari Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu 'anhu.
[15] Lihat: Keutamaan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma di dalam kitab Fadhail Ash Shahabah, karya Al 'Adawi, cet. Terbaru (hal. 31-64, 65-90).
[16] Diriwayatkan semisalnya oleh Ahmad (1/337) dan disebutkan Al Khatib di dalam kitab Al faqih wa Al Mutafaqqih (1/145), Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Jami' Bayan Al Ilmi wa Fadhlih (2/239) dan Ibnu Hazm di dalam kitab Hajjat Al Wada' (hal. 268-269).   
[17] Lihat: I'lam Al Muwaqqi'in (2/282).
[18] Lihat: I'lam Al Muwaqqi'in (2/282).
[19] Lihat: Thabaqat Al Hanabilah (2/15) dan Al Inabah (1/260).
[20]HR. Bukhari (no. 1129) dan Muslim (no. 761).
[21] Lihat: Lisan Al Arab (1/175).
[22] Lihat: Al 'Itisham (1/250).
[23] Lihat: Iqtidha' Ash Shirath al Mustaqim (hal. 276).
[24] HR. Ahmad 1/6379/84-85 (3600), cet. Ar Risalah dan lihat Kitab Al 'Ilal, karya Ad Daruqthni 5/66-67
[25] Lihat: Kasyf Al Khafa', karya 'Ajluni (2/245).
[26] Lihat: Nashb Ar Rayah (4/133).
[27] Lihat kitab Al Wahiyat, no. 452
[28] Lihat kitab Al Furusiyyah, hal. 61
[29] Lihat: Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 2/17 (no. 533).
[30] HR. Ahmad
[31] Fatawa Al 'Izz bin Abdis Salam (no. 9).
[32] Lihat kitab al Furusiyyah, hal. 60.
[33] Lihat kitab Raudhatu An Nazhir, hal. 86
[34] Lihat kitab Al I’tisham, 2/655.
[35] Lihat kitab AL Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, 6/197
[36] Lihat kitab Al Luma’ Fi Ar Radi ‘Ala Muhassin Al Bida’, hal. 30-31.
[37] HR. Ad Darimi di dalam kitab Sunan beliau.


continue reading Adakah Bid'ah Hasanah ?

Hadits Tentang Bid'ah

Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)
Hadits 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:
يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )
Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.
Hadits 10
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ
Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.
Hadits 11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)
Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Dukung pendidikan Islam yang berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih dengan mendukung pembangunan SDIT YaaBunayya Yogyakarta http://bit.ly/YaaBunayya  

continue reading Hadits Tentang Bid'ah